Picture from here |
“Riri Riza?”
Kelas leadership dwibulanan di kantor saya
memang kerapkali mengundang tamu yang unik. Setelah kemarin mengundang staf
ahli negara dan fotografer daerah perang, kali ini mereka mengundang sutradara
kawakan. Hmm, insan perfilman berbicara soal leadership? Pasti menarik.
Nama Riri Riza
mengingatkan saya akan film Petualangan
Sherina dan Laskar Pelangi. Dua
film yang disutradarai beliau dan memberikan kesan mendalam bagi saya. Yang
pertama memberikan kenangan manis masa kecil, dan kedua mengingatkan pada sosok
ibu kedua saya yang kini telah tiada (karena beliau nekad menyelundupkan dua
kotak donat oranye ke dalam gedung bioskop saat menemani saya menonton). Salah
satu dosa terbesar saya adalah melewatkan Ada
Apa dengan Cinta, tapi toh saya tidak suka film remaja. Selain motivasi
ingin di-casting (ups), saya pun tak
sabar ingin mendengar beliau memaknai kepemimpinan.
Sosok kurus dan rambut
kusut masai beliau ternyata menyembunyikan semangat yang membuncah. Mas Riri
menceritakan kisah cintanya dengan dunia perfilman yang dimulai tahun 1988.
Lucunya, beliau mengaku tidak begitu suka film sejak kecil. Nasiblah yang
mengantarkannya menuju Jurusan Sinematografi IKJ—ketika jurusan musik yang dia
minati tutup sejak dua tahun lalu. “Ternyata film menggabungkan semua aspek
yang saya sukai. Dari dulu, saya suka fotografi. Saya juga suka aktor, seni
peran,” jelasnya.
Sepertiga waktu kelas
beliau gunakan untuk menceritakan sejarah film di Indonesia. Diiringi dengan
poster film jaman Indonesia baru merdeka yang pastinya cocok menjadi ornamen
ruangan bernuansa vintage. Saat itu
pula, saya berkenalan dengan Usmar Ismail, Nya Abbas Akub, dan Teguh Karya.
Namun ternyata ini lebih dari sekedar pelajaran sejarah.
“Bila saya memproduksi
film dengan setengah-setengah, saya malu dengan orang-orang ini. Jaman dahulu, siapa
yang mau berinvestasi di dunia film? Negara saja baru merdeka, kok,” Mas Riri berargumen.
Yang unik dari Mas Riri
adalah “Saya membuat film hanya untuk
orang Indonesia,” tegasnya sepanjang kelas. Karena itulah beliau membuat film
mengenai kehidupan orang Indonesia, dengan pemeran orang Indonesia. “Semua film
saya pun diputar di Indonesia,” imbuhnya, tidak seperti sineas lain yang
membuat film hanya untuk diikutsertakan di festival film Internasiona. Ini sesuai
dengan prinsip yang Mas Riri imani: “Kepada siapa film itu saya tujukan, dan
film itu harus mampu bercerita.”
Mas Riri juga
memperlakukan film sebagai produk lainnya. Sejak kesuksesan Petualangan Sherina
menjadi film pertama yang mencapai jumlah penonton 1,6 juta, publik seolah
sadar bahwa film pun ada pasarnya, diiringi dengan praktik pemasaran yang
tepat. Namun Mas Riri pantang mengulang kesuksesan masa lalu, baik orang lain
maupun dirinya sendiri. “Mengulang kesuksesan itu susah,” ujarnya
berulang-ulang. Beliau juga merancang filmnya dengan penuh perhitungan. “Siapa,
atau ada nggak, yang akan nonton film saya dua tahun lagi?” beliau bertanya
retoris di awal sesi. Lucunya, “Saya nggak punya plan apabila film saya masuk piala Oscar,” ujar Mas Riri sambil
tertawa.
Pada akhirnya, “Strategi
dan Passion” adalah jawaban Mas Riri atas pertanyaan “Faktor apakah yang paling
berperan dalam kesuksesan Mas Riri saat ini.” Beliau menganggap, membuat film
haruslah menjadi personal quest. Itu
jugalah yang membuat beliau menggaruk kepala ketika ditanya apa yang dilakukan
ketika jenuh. Passion ini juga tampak dalam
pernyataannya, “Saya selalu membuat plan ke depan. Saya ingin membuat film di
papua, di pelosok Indonesia timur. Setiap saya selesai membuat film, di saat
yang sama saya mulai merencanakan film berkutnya.” Rasa cinta jugalah yang
menggerakkan beliau dalam membuat film Atambua
39oC.
Sore itu, saya pulang
membawa banyak bahan untuk direnungkan. Satu hal yang belum berhasil saya
lakukan adalah bersalaman dengan beliau dan berkata, “Terima kasih telah
memberi kenangan masa kecil yang indah untuk saya kenang.”
Berdasarkan Kelas NLIGHT 15 Januari 2014