Thursday, January 16, 2014

Insan Film Bicara Leadership?

Picture from here


“Riri Riza?”

Kelas leadership dwibulanan di kantor saya memang kerapkali mengundang tamu yang unik. Setelah kemarin mengundang staf ahli negara dan fotografer daerah perang, kali ini mereka mengundang sutradara kawakan. Hmm, insan perfilman berbicara soal leadership? Pasti menarik.

Nama Riri Riza mengingatkan saya akan film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi. Dua film yang disutradarai beliau dan memberikan kesan mendalam bagi saya. Yang pertama memberikan kenangan manis masa kecil, dan kedua mengingatkan pada sosok ibu kedua saya yang kini telah tiada (karena beliau nekad menyelundupkan dua kotak donat oranye ke dalam gedung bioskop saat menemani saya menonton). Salah satu dosa terbesar saya adalah melewatkan Ada Apa dengan Cinta, tapi toh saya tidak suka film remaja. Selain motivasi ingin di-casting (ups), saya pun tak sabar ingin mendengar beliau memaknai kepemimpinan.

Sosok kurus dan rambut kusut masai beliau ternyata menyembunyikan semangat yang membuncah. Mas Riri menceritakan kisah cintanya dengan dunia perfilman yang dimulai tahun 1988. Lucunya, beliau mengaku tidak begitu suka film sejak kecil. Nasiblah yang mengantarkannya menuju Jurusan Sinematografi IKJ—ketika jurusan musik yang dia minati tutup sejak dua tahun lalu. “Ternyata film menggabungkan semua aspek yang saya sukai. Dari dulu, saya suka fotografi. Saya juga suka aktor, seni peran,” jelasnya.

Sepertiga waktu kelas beliau gunakan untuk menceritakan sejarah film di Indonesia. Diiringi dengan poster film jaman Indonesia baru merdeka yang pastinya cocok menjadi ornamen ruangan bernuansa vintage. Saat itu pula, saya berkenalan dengan Usmar Ismail, Nya Abbas Akub, dan Teguh Karya. Namun ternyata ini lebih dari sekedar pelajaran sejarah.

“Bila saya memproduksi film dengan setengah-setengah, saya malu dengan orang-orang ini. Jaman dahulu, siapa yang mau berinvestasi di dunia film? Negara saja baru merdeka, kok,” Mas Riri berargumen.

Yang unik dari Mas Riri adalah  “Saya membuat film hanya untuk orang Indonesia,” tegasnya sepanjang kelas. Karena itulah beliau membuat film mengenai kehidupan orang Indonesia, dengan pemeran orang Indonesia. “Semua film saya pun diputar di Indonesia,” imbuhnya, tidak seperti sineas lain yang membuat film hanya untuk diikutsertakan di festival film Internasiona. Ini sesuai dengan prinsip yang Mas Riri imani: “Kepada siapa film itu saya tujukan, dan film itu harus mampu bercerita.”

Mas Riri juga memperlakukan film sebagai produk lainnya. Sejak kesuksesan Petualangan Sherina menjadi film pertama yang mencapai jumlah penonton 1,6 juta, publik seolah sadar bahwa film pun ada pasarnya, diiringi dengan praktik pemasaran yang tepat. Namun Mas Riri pantang mengulang kesuksesan masa lalu, baik orang lain maupun dirinya sendiri. “Mengulang kesuksesan itu susah,” ujarnya berulang-ulang. Beliau juga merancang filmnya dengan penuh perhitungan. “Siapa, atau ada nggak, yang akan nonton film saya dua tahun lagi?” beliau bertanya retoris di awal sesi. Lucunya, “Saya nggak punya plan apabila film saya masuk piala Oscar,” ujar Mas Riri sambil tertawa.

Pada akhirnya, “Strategi dan Passion” adalah jawaban Mas Riri atas pertanyaan “Faktor apakah yang paling berperan dalam kesuksesan Mas Riri saat ini.” Beliau menganggap, membuat film haruslah menjadi personal quest. Itu jugalah yang membuat beliau menggaruk kepala ketika ditanya apa yang dilakukan ketika jenuh.  Passion ini juga tampak dalam pernyataannya, “Saya selalu membuat plan ke depan. Saya ingin membuat film di papua, di pelosok Indonesia timur. Setiap saya selesai membuat film, di saat yang sama saya mulai merencanakan film berkutnya.” Rasa cinta jugalah yang menggerakkan beliau dalam membuat film Atambua 39oC.


Sore itu, saya pulang membawa banyak bahan untuk direnungkan. Satu hal yang belum berhasil saya lakukan adalah bersalaman dengan beliau dan berkata, “Terima kasih telah memberi kenangan masa kecil yang indah untuk saya kenang.”

Berdasarkan Kelas NLIGHT 15 Januari 2014