Monday, April 16, 2012

Di Balik Satu Set Tahu Gejrot

Diambil di ruang tamu seseorang yang rumahnya #ehm masuk majalah Idea edisi April 2012 

Bukan. Ini bukan posting soal menu makanan di menu wisata kuliner di kota anu. Dan lagi, saya yakin semua orang sudah tahu kelezatan penganan khas kota Cirebon ini. Paling tidak, ketika saya meng-update status BB saya menjadi "Tahu Gejrot", ada sekitar lima orang yang menyapa: "Mauuu...!" "Makan di mana?" "Ngiler" dan sebangsanya.

Tapi, sejujurnya, saya tidak suka tahu gejrot. Saya justru menghindari varian tahu yang satu ini.


Kejadiannya kira-kira waktu saya SD dulu. Keluarga besar mengadakan syukuran di rumah seorang kerabat di Cirebon. Di pagi hari, sehabis berenang, saya melihat satu pinggan penuh tahu. Karena mengira itu adalah Tahu Sumedang--dan saya suka Tahu Sumedang serta berbagai varian tahu lainnya--saya diam-diam mencomot segenggam penuh dan memasukkannya ke mulut.

Sensasinya langsung terasa. Baunya menusuk hidung dan membuat perut bergejolak. Rasanya seperti menelan segenggam tahi cicak. Akhirnya saya berlari ke WC terdekat dan membuang hasil jarahan saya ke kloset. Sejak saat itu, saya selalu jauh-jauh dari tahu gejrot, tak peduli diimingi-imingi siapapun.

Karena itulah betapa kagetnya saya ketika tiba-tiba seorang teman menyorongkan sepiring tahu gejrot di bawah hidung. "Lah, kan elo yang mesen?" ujarnya menanggapi tatap bingung saya.

Karena memang saya yang memesan--sambil sebelumnya mengira kalau yang dipesan itu baso tahu dan bukan tahu gejrot, saya akhirnya menerima piring tembikar (?) berwarna hitam itu dan mengaduk-aduk tahu  itu di dalam saus (?) berwarna mirip air teh. Seribu satu kenangan bau menusuk tiba-tiba muncul di kepala sata saya--dengan agak jijik--mengambil suapan pertama saya.

Dan saya lebih kaget lagi ketika merasai gigitan pertama. Kok nggak bau? Kok manis? Kok enak? Kok jadi mau lagi? Yang terakhir sih kayaknya gara-gara saya belum sarapan, hehehe.

Lalu teman saya bercerita, kalau tahu gejrot itu memang harus dinikmati di atas piring tembikar yang itu, dituang saus asam manis, dan dikasih bawang serta cabe rawit. Bahkan, tahu, bawang, dan cabe-nya harus diulek di atas piring itu. "Gua pernah pesen tahu gejrot buat dibungkus, pada akhirnya nggak gua makan. Nggak enak," imbuh teman saya.

Entah kenapa, setelah merasakan tahu gejrot pertama saya, saya jadi berpikir. Mungkin ada kesamaan antara tahu gejrot dengan kebahagiaan? Hanya seonggok tahu saja tidak akan terasa enak, malah rasanya menjijikkan. Harus tahu yang itu, diulek di atas piring yang itu, dan dibubuhi saus khas dan bawang-cabe rawit secukupnya.


Mungkin kebahagiaan pun begitu. Punya banyak uang tidak akan bikin kita bahagia, begitu pun punya banyak teman tapi tidak punya uang atau punya segudang ilmu tapi tak dimanfaatkan. Kebahagiaan itu (mungkin) lahir dari sebuah keseimbangan: punya cukup uang untuk "membeli kebahagiaan", punya cukup teman untuk "berbagi kebahagiaan", punya cukup ilmu untuk "tahu bagaimana mendapatkan kebahagiaan". A little of this, a little of that, and voila! We're the happiest man in the world!


Dan, "resep bahagia" setiap orang itu berbeda, karena makna kebahagiaan tiap orang pun berbeda. Saya pun masih mencari "resep kebahagiaan" saya sendiri, tapi saya bersyukur masih bisa menemukan hikmah di balik sepiring tahu gejrot. Semoga setiap orang di Dunia segera menemukan "resep bahagia"-nya masing-masing.

Cheers!

P.S. Ya. Kita bisa "membeli kebahagiaan". Dan dengan cara yang tak disangka-sangka, pula. Penasaran?

Thanks to @saptapasta yang sudah mengenalkan saya dengan keajaiban kecil tapi menakjubkan ini.



No comments:

Post a Comment